Rabu, 02 Mei 2012

BUDAYA DAN DAMPAKNYA


BAB I
PENDAHULUAN

Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan “cultuur” (bahasa belanda), “culture” (bahasa inggis), tsaqafah” (bahasa arab),berasal dari perkataan latin “colere” yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti Culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Ditinjau dari sudut bahasa Indonesia, kebudayaan berasal dari bahasa sensakerta “budhaya” yakni bentuk jamak dari budhiyang berarti budi atau akal. Jadi kebudayaan adalah hasil budi atau akal manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup.
E.B. Tayor merumuskan definisi secara sistematis dan ilmiah tentang kebudayaan sebagai berikut : “kebudayaan adalah komflikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat, serta lain-lain kenyataan dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat”.
Dalam pendapat sosiologi, kebudayaan meliputi semua hasil cipta, karsa rasa dan karya manusia baik yang material maupun nonmaterial (baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat kerohanian).
Di dalam masyarakat , kebudayaan itu disatu pihak dipengruhi oleh anggota masyarakat, tetapi dilain pihak anggota masyarakat itu di pengaruhi oleh kebudayaan. Misalnya : orang eropa yang beriklim dingin terpaksa harus membuiat pakaian tebal “kebudayaan” adalah suatu hasil cipta dari pada hidup bersama yang berlangsung berabad-abad. Jadi pada pokoknya tiap-tiap manusia itu pasti mempunyai kebudayaan yaitu gejala-gejala jiwa yang dimiliki oleh manusia, dan yang membedakan manusia dengan binatang 
Dengan hasil budaya indoesia terjadilah pola kehidupan, dan pola kehidupan inilah yang menyebabkan hidup bersama dan dengan mempengaruhi cara berfikir dan gerak sosial. Contoh kehidupan umat islam di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatra berlain-lain bentuknya, sebab pola kehidupan mereka juga lain, kerena adanya pengaruh lingkungan di daerah itu.
Manusia hidupnya selalu didalam masyarakat. Bahwa hidup bermasyarakat itu adalah perlu bagi manusia agar benar-benar dapat mencapai tarap hidup kemanusiaan. Tanpa masyarakat hidup manusia tidak dapat menunjukan sifat-sifat kemanusiaan.






















BAB II
PEMBAHASAN

A.   Hubungan Manusia Dan Kebudayaan
Terdapat konsepsi tentang kebudayaan manusia yang menganalisa masalah-masalah hidup sosoal-kebudayaan manusia. Konsepsi tersebut ternyata memberi gambarn kepada kita bahwasannya hanya manusialah yang mampu berkebudayaan. Sedang pada hewan tidak memiliki kemampuan tersebut. Mengapa hanya manusia saja yang memiliki kebudayaan? Hal ini dikarenakan manusia dapat belajar dan dapat memahami bahasa, yang semuanya itu bersumber pada akal manusia.
Kesimpulannya : bahwa manusialah yang dapat menghasilkan kebudayaan, dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa adanya manusia.

B.    Hubungan Masyarakat Dengan Kebudayaan
Masyarakat adalah kumpulan manusia yang hidup dalam suatu daerah tertentu, yang telah cukup lama, dan mempunyai aturan-aturan yang mengatur mereka, untuk menuju kepada tujuan yang sama. Dapat diibaratkan, manusia adalah sumber kebudayaan, dan masyarakat adalah satu dunia besar, manusia mengangsung (mengambil) air dari danau itu. Maka dapatlah dikatakan manusia itu “mengangsung apikula warih”(ambil air berpikulan air). Sehingga tidaklah  habis air dalam danau itu, melainkan bertambah banyak karena selalu ditambah oleh orang yang mengambil air tadi. Jadi erat kali hubungan antara masyarakat dengan kebudayaan. Kebudayaan tak mungkin timbul tanpa adanya masyarakat dan eksistensi masyarakat itu hanya dapat dimungkinkan oleh adanya kebudayaan.
Filusuf Hegal dalam abad ke-19 membahas budaya sebagai keterasingan manusia sebagai dirinya sendiri. Dalam berbudaya manusia tidak menerima begitu saja apa yang disediakan oleh alam tetapi mengubahnya dan mengembangkannya lebih lanjut. Itulah yang dimaksud keterlepasan atau keterasingan dan akibatnya terjadi aneka ketegangan terus-menerus yang mendorong kebudayaan itu.
Van Paursen berusaha menjelaskan hal yang nampaknya serba bertentangan itu demikian : mansia dengan mengembangkan alam ia memesukan dirinya kedalam dirinya sendiri. Karena manusia tidak secara otomatis menyatukan dengan alam (tetapi melalui berbagai sarana) maka ia berbudaya. Dengan demikian manusia menjadi mampu untuk membuat ketegangan dengan alam dan dari ketegangan itu meletupnya api budaya.
Dalam pengalaman sejarah umum manusia, dikenal juga gejala-gejala kelelahan budaya. Manusia mendambakan kehidupan bangsa primitif yang penuh dengan ritus, adat, hiasan dan magiyang serba menarik. Orang jemu dengan budaya yang melelahkan ini dan ingin  nikmat secara alami. Kadang-kadang orang mengira semakin maju budayanya semakin banyak dosa yang dibuat, sebaliknya budaya itu semakin primitif semakin suci.
Dalam budaya modern sekarang bermunculan kecendrungan manusia (misalnya kaum hipis dan kaum urakan ala Rendra) untuk melarikan diri dari budaya dan kembali pada alam. Klages (1930) menulis “budaya merupakan bahaya bagi manusia sendiri.” Budaya yang dimaksud upama teknik, peradaban pabrik berasap, uadara yang penuh debu, kota yang kotor, hutan yang makin gundul, kediktatoran akal, dan budi yang tamak.
Di dalam budaya sendiri terkadang termuat kuasa-kuasa yang mengancam dan mampu menyeret manusia kedalam jurang kerusakan. Sehubungan dengan itu Proud dalam brosurnya berjudul “das unbehagen in der kultur” (deita didalam budaya) menjelaskan bahwa budaya bersipat neurotis. Dan dalam buku lain yang berjudul “die zunkefteiner illusion” (masadepan suatu fusi)bahwa sumber budaya bersumber dari anfsu birahi (eros) dan kedauratan atau situasi kepepet. Yang pertama mendorrongnya untuk bermasyarakat dan yang kedua mendorongnya untuk bekerja.

C.   Budaya membutuhkan etika
 Di dalam alam maupun budaya tersembunyilah bahasa Hoenderdaal menyimpulkan, budaya itu bagai manapun merupakan bagian dari manusia, baik sebagai hal yang berharga sehingga harus dikejarnya. Maupun sebagai hal yang tek berharg yang sehingga harus dijauhinya. Budaya dengan ini mirip dengan Tuhan. Yang harus kita dekati, akan tetapi jika kita gegabah memandangnya sebagai sesama kita, maka sikap ini akan mengancam kelestarian kita sendiri. Budaya juga demikian itu, disamping membawa kemuliaan kepada kita sekaligus juga membawa laknat. Budaya manusia menaklukan alam. Alam dan budaya merupakan dua kutub yang saling memerlukan dan memberi ruang kehidupan bagi manusia. Budaya yang meluas dan meningkat seperti halnya yang terdapat pada ilmu, cenderung membahayakan bagi manusia sendiri, yang menciptakannya, ekspensi yang hebat dari teknik menghasilkan imperialisme teknik sehingga mengancam budaya susila. Contoh: dulunya perkakas itu merupakan perpanjangan tangan manusia, akan tetapi manusia malah cenderung menjadi perpanjangan perkakasnya, sehingga budaya dengan itu mengancam manusia. Seorang manusia dengan kerja robot dapat secara hidup secara teknis dan etis pula untuk perkembangnya ruamng hidup yang manusiawi tak dapat ditempuh jalan yang mengagungkan budayawi saja ataupun yang alami saja. Kedua-duanya harus ditempuh bersama, yakni alam dan budaya dimana budaya itu sendiri tak boleh dijumbuhkan dengan teknik. Akan tetapi harus dihayati dalam cakupan ilmu etika dan seni.   

D.   Budaya Sebagai Pilar kemajuan
Budaya, menurut Cliffort Geertz, adalah seluruh cara hidup dari sebuah masyarakat: nilai, praktik hidup, simbol, lembaga, dan hubungan antarmanusia. Sebagai cara hidup, budaya oleh Patterson, salah satu kontributor buku ini, dipahami sebagai jawaban terhadap aneka pertanyaan tentang mengapa terjadi perbedaan tingkat keterampilan, kemakmuran, kecakapan, dan upah di antara berbagai bangsa.
Budaya menjadi faktor dominan dalam mendorong kemajuan. Maju berarti hidup yang lebih panjang, lebih sehat, tanpa banyak belitan derita, dan lebih berbobot. Secara sosial, maju berarti terciptanya hubungan yang saling menguntungkan di antara berbagai kelompok, tanpa ada prasangka dan diskriminasi yang memicu kekerasan.
Etos kerja keras, berhemat, dan menabung merupakan nilai budaya yang menjadi pilar kemajuan bangsa. Minoritas etnis China di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Amerika Serikat merupakan contohnya. Begitu pula etnis Basque di Spanyol dan Amerika Latin serta etnis Yahudi di mana pun, merupakan kekuatan ekonomi yang unggul.
Meskipun demikian, penolakan terhadap eksistensi budaya masih kerap terjadi. Kadang budaya hanya menjadi suplemen dari teori pilihan rasional. Budaya dilihat sebagai "adonan adat istiadat", sebentuk fosil tua yang dikagumi, namun tidak digunakan. Budaya dianggap statis dan dangkal sehingga tidak mampu mengurai benang kusut kehidupan modern.
Terabaikannya budaya membuat negara gagal merumuskan kebijakan secara tepat, investasi melayang, dan usaha produktif gulung tikar. Implikasi lanjutannya adalah dehumanisasi: perbudakan manusia atas kemewahan materi. Nilai kompetisi diruntuhkan oleh pendewaan politik sarat eksploitasi. Kekayaan dan kemewahan diperoleh dengan kemampuan memelihara hati dan kebaikan sang raja, bukan oleh etos kerja keras dan sifat berhemat.
Budaya juga memiliki potensi untuk menghambat kemajuan. Daniel Etounga-Manguelle (hal 126-128) mencatat bahwa budaya Afrika kurang mendukung kemajuan. Prinsip orang Afrika adalah "kerja untuk hidup", bukan "hidup untuk bekerja". Pesta merupakan kecenderungan yang berlebihan. Setiap hal merupakan dalih untuk perayaan: kelahiran, pembaptisan, pernikahan, ulang tahun, promosi, perkabungan, pembukaan kongres, dan sebagainya. Apakah gaji seseorang itu besar atau kecil, apakah lumbung padi seseorang itu penuh atau kosong, pesta haruslah mewah dan menghadirkan banyak tamu.
E.   Pengaruh Budaya Terhadap Politik
Budaya rentan terhadap pengaruh politik. Sifat pemerintah yang buruk bisa mengubur nilai-nilai budaya yang mendukung kemajuan. Sifat sederhana dan jujur dikalahkan oleh budaya kemewahan dan kemunafikan, solidaritas dipinggirkan oleh kultur intrik di antara elite politik untuk mengakumulasi materi, termasuk melanggar aturan main.
Budaya juga sering dipakai oleh analis reaksioner dan tokoh publik yang mengaitkan masalah sosial kaum miskin dengan "nilai-nilai" mereka dan dengan demikian mencuci tangan pemerintah dari kesalahan desain politik pembangunan yang korup dan memarjinalkan rakyat (hal 302).
Kondisi ini perlu diretas melalui kepemimpinan politik yang kuat dan memiliki integritas. Lee Kuan Yew menjadi tokoh penting dalam hal ini. Ia mampu mengikis tingkat korupsi di Singapura. Pola hidup sederhana dan penegakan hukum menjadi topangannya. Di saat yang sama, etos kerja keras, jujur, sportif, dan berhemat terus dipacu. Ini semua menjadi faktor yang bisa menjelaskan mengapa Singapura tampil menjadi salah satu naga kecil perekonomian Asia bersama Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan.
Pengalaman serupa terjadi di Jepang. Ketika restorasi menjadi sumber perdebatan publik, pemimpin Jepang hadir sebagai kekuatan yang menyatukan. Sikap rezim baru yang menjunjung moral dan integritas membuat mereka diterima semua kelompok.
Jepang bukan saja sukses melewati krisis dengan damai, tetapi juga mampu memasuki modernisasi dengan sistem yang baik, pemerintahan yang efektif, tingkat melek huruf yang tinggi, eratnya struktur kekeluargaan, dan etos kerja keras serta disiplin diri.
Di negeri ini, begitu banyak ajaran tentang pentingnya integritas dan keteladanan penguasa. Budi luhur penguasa tampak dalam cara ia menjalankan kekuasaannya. Ia harus sepi ing pamrih, artinya tidak boleh terikat oleh hawa nafsu dan kepentingan pribadinya. Ia harus bersih dari angkara murka supaya dapat menjadi heneng, hening, hawas, dan heling (diam, jernih, awas, dan ingat).
Penguasa harus menggunakan kekuasaannya secara halus dan terhormat. Ia diharapkan mampu membawa keadilan dan kemajuan tanpa perlu menggunakan cara-cara kasar. Keluhuran kepemimpinan terangkum dalam prinsip: sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, unggul tanpa bala, menang tanpa ngasorake (kaya tanpa benda, tak terkalahkan tanpa senjata, unggul tanpa tentara, menang tanpa merendahkan) (Suseno, 2003, 36-37).
Buku ini terdiri dari 7 bab dan menyajikan pemikiran para pakar tentang bagaimana skenario mengoreksi dan menghidupkan budaya dalam mendorong kemajuan suatu bangsa. Pesan penting buku ini adalah: budaya merupakan faktor yang amat menentukan bagi mati hidupnya suatu bangsa. Kematian budaya merupakan indikasi kehancuran bangsa.
Para penentu kebijakan dan masyarakat disarankan membaca buku ini dalam merefleksikan aneka derita yang kini mengimpit bangsa. Boleh jadi, kita, terutama para elite politik dan pemerintah, telah melupakan nilai-nilai budaya sederhana, jujur dan kerja keras, serta berhemat. Akibatnya, kemajuan sering menjadi impian kosong.

F.    Budaya Yang Menyebabkan Kemiskinan
Penyebabnya adalah jika data yang digunakan untuk menghitung ketimpangan tidak akurat dalam merepresentasikan golongan kaya. Hal ini bisa disebabkan budaya orang Indonesia yang “low profile” sehingga melaporkan pengeluaran lebih kecil dari yang sebenarnya. Penyebab yang lain adalah jika sampel data survei rumah tangga kurang mewakili golongan pendapatan tinggi.
Angka koefisien Gini di pedesaan sudah relatif akurat, tetapi angka koefisien Gini di perkotaan sangat under-estimated. Hal ini masuk akal, mengingat golongan sangat kaya di pedesaan tentunya hampir tidak ada jika dibandingkan dengan golongan sangat kaya yang tidak terwakili di perkotaan. Untuk tahun 2002, misalnya, angka koefisien Gini di perkotaan hampir mencapai angka 0,6, jauh lebih tinggi daripada yang tercatat saat ini, yaitu 0,35. (opini pakar ekonomi Arief A. Yusuf).
Orang di desa yang dengan susah payah mengumpulkan pendapatannya (yang jauh bila dibandingkan pendapatan orang kota) untuk memenuhi kebutuhannya tetapi justru sebagian besar pendapatannya mengalir dengan deras menuju kota. Untuk kondisi seperti ini semestinya pihak terkait (pemerintah, lembaga dan organisasi kemasyarakatan serta perguruan tinggi) dapat mengkaji dan menelaah kembali bila perlu dilakukan survey bagaimana aliran distribusi masyarakat dan arus konsumsi masyarakat di dua wilayah tersebut (kota dan desa) terjadi, sehingga akan diperoleh data ketimpangan pendapatan yang akurat sebagai informasi.
Masyarakat desa dianggap demikian lugu dengan kondisi lingkungannya, sedikit sekali temuan dan inisiatif serta gagasan yang dapat berkembang dan mampu menciptakan potensi dan keunggulan komparatif, sebagian kecil contohnya adalah desa yang memiliki potensi pertanian yang luas tetapi pada kenyataannya masyarakat tidak mampu menjadikan potensi tersebut sebagai keunggulan bersaing dengan desa yang justru tidak memiliki potensi tersebut, telah banyak kejadian yang mencatat bagaimana para petani menuntut perbaikan kesejahteraan di sektor pertanian dan hal itu terus berlangsung hingga kini.
Secara umum masyarakat mengetahui apa itu lingkaran kemiskinan, setiap pemerintah menggulirkan program bantuan bagi masyarakat terdapat beberapa skema yang mencantumkan alur kemiskinan masyarakat, misalnya beberapa pertanyaan yang berhubungan “mengapa miskin?” salah satu jawabannya “karena tidak sekolah, sehingga tidak bisa bekerja”, kemudian “mengapa tidak bekerja?” jawabannya akan kembali ke atas yaitu “karena miskin”. Tidaklah mudah memutus rantai kemiskinan, meskipun diketahui sumber yang membuat masyarakat miskin tetapi itu memerlukan waktu dan konsekuensi yang tinggi untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera seperti dicita-citakan bangsa Indonesia.
Bantuan langsung tunai (BLT) diberikan untuk rakyat miskin di luar Jawa. Untuk Jawa, yang mencakup 80 persen jumlah penduduk Indonesia, dengan rata-rata tingkat kemiskinan 10-15 persen, difokuskan pada program padat karya (cash for work). Untuk di Jawa, kesehatan, raskin, dan pendidikan masih bisa digratiskan.
Pemberian BLT dipertanyakan efektivitasnya. Kerja Badan Pusat Statistik (BPS) dipertanyakan, apakah dalam pendataan sudah meliputi semua orang miskin? Ataukah pendataan itu hanya secara acak saja? Salah satu Ketua RT di Kelurahan Braga mengatakan pegawai BPS datang ke tempatnya sudah berulang kali meminta Ketua RT tersebut untuk memberikan data terbaru penduduk miskin di wilayahnya. Akan tetapi, yang terjadi data penduduk miskin tidak pernah diubah sesuai dengan pendataan Ketua RT. Ada yang seharusnya tidak menerima BLT, justru menerima. Namun, yang seharusnya menerima BLT, malah tidak menerima BLT. Siapa yang dapat mengontrol kinerja anggota BPS?
Dikhawatirkan pemberian BLT atau pemberian tunai sejenis lainnya justru malah membuat budaya mengemis. Orang miskin bisa saja menjadi malas bekerja dan terlalu berharap dengan bantuan itu. Uang pemberian itu juga nantinya akan habis dengan cepat. Alangkah lebih baiknya apabila orang-orang miskin diberi fasilitas atau lapangan pekerjaan agar mereka bisa mengembangkan pekerjaan mereka.
Para petani juga senantiasa tertindas oleh kerakusan para pembeli beras. Untuk menanam padi, banyak di antara mereka meminjam uang, biasanya kepada rentenir. Perjanjiannya panen dilunasi. Ketika panen tiba, mereka akan menjual gabah mereka dalam kondisi yang kurang bagus, kadar airnya tinggi, sebab mereka membutuhkan uang secepatnya untuk hidup. Tentu saja, harga gabah mereka murah. Jadi hutang-hutang mereka bisa terbayar. Sisanya tentu tidak seberapa. Ketika paceklik tiba mereka sudah tidak punya uang lagi, pinjam lagi. Dan seterusnya seperti lingkaran.
Pinjaman luar negeri pada masa Orde Baru turut menjadi penyebab kemiskinan yang ada sekarang ini. Negara berada dalam baying-bayang kemakmuran, tapi ternyata hutang tak terkontrol. Uang hasil utang dikorupsi oleh para pejabat. Rakyat sedikit sekali menggunakannya.
Selama ini alasan pokok negara Dunia Ketiga sampai saat ini masi menerima bntuan dari luar negeri, sekalipun mengikat tetapi tidak banyak diperhatikan. Bantuan tersebut cenderung dianggap atau bahkan diyakini akan dapat melengkapi kelangkaan sumber daya alam di negara berkembang. Konflik biasanya muncul karena persyaratan yang diajukan. Celakanya, pihak pemberi seringkali tidak bisa member arahan yang tepat. Adakalanya, bertolak dari motif pemberian bantuan, uang itu akhirnya digunakan pemerintahan yang korup menggunakan bantuan itu untuk aneka proyek yang tidak menguntungkan. (Michael P. Todaro, 1998: 174)
Di bidang pertanian, kebijakan pemerintah dalam untuk memutuskan impor beras dengan alasan bencana, harga beras yang melonjak, maupun stok beras yang ada di pemerintah adalah hal yang terlalu panik, mengada-ada, menghina petani, dan melampaui batas kewajaran. Dalam situasi bencana, jumlah penduduk dan konsumsi beras adalah TETAP secara nasional, hanya pada beberapa wilayah saja seperti Jakarta yang terkesan menyerap banyak untuk stok di rumah tangga ataupun bantuan untuk bencana.
Globalisasi juga telah melahirkan kemiskinan dan ketimpangan global. Dalam kaitannya dengan pangan, ketahanan pangan tidak hanya mengandung aspek ketersediaan pangan. Karena saat persediaan pangan negara banyak sekalipun, hanya kelompok tertentu yang dapat memperolehnya. Dan tentunya, kelompok masyarakat miskin bukan termasuk dalam kelompok yang dapat dengan mudah memperoleh pangan.
Orang miskin tidak memiliki akses terhadap sumber daya yang cukup, baik untuk memproduksi ataupun membeli makanan yang layak. Petani miskin juga hanya memiliki lahan yang terbatas atau bahkan tidak memiliki lahan. Mereka yang memiliki lahan hanya menggunakan teknik-teknik pertanian yang mungkin kurang efisien, yang akhirnya membatasi produksi pangan. Kadang apa yang mereka tanam pun tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka, apalagi untuk dijual guna mendatangkan penghasilan. Karena miskin, mereka pun tidak memiliki suara secara politis. Kebijakan-kebijakan negara sangat bias kelas, bahkan saat orang miskin menuntut apa yang menjadi haknya sekalipun.
Akhirnya karena kebutuhan hidup, para petani menjual gabah ke tengkulak yang tentu membeli dengan harga rendah. Dalam kondisi semacam ini, para tengkulak semakin berkuasa menentukan harga gabah. Mereka memanfaatkan kelambanan Bulog dalam membeli gabah petani. Lagi-lagi petani yang miskin pun semakin dirugikan. Mereka tahu harga pasaran, namun tidak dapat melakukan apa-apa karena terdesak kebutuhan.
Lebih lanjut, kemiskinan, menurut Imam Cahyono, memiliki wajah perempuan. Imam memaksudkannya bahwa sebagian besar penduduk miskin di negara berkembang adalah perempuan. Hal ini dikarenakan adanya feminisasi kemiskinan, berupa upah perempuan yang lebih rendah, feminisasi pekerjaan, akses perempuan yang dibatasi hukum, dan sebagainya. Menurut Imam, kemiskinan memiliki dimensi yang sangat bias gender karena adanya ketimpangan gender dan aspek kekuasaan.
Dari kalimat Imam di atas bahwa kemiskinan memiliki wajah perempuan, terdapat makna lain, yakni bahwa dalam kondisi sama-sama miskin, maka kelompok perempuan akan menjadi yang paling menderita. Dalam kondisi miskin, perempuan akan lebih sulit terpenuhi hak-haknya atas pangan yang layak. Meskipun telah ada pengakuan formal terhadap kesetaraan gender dalam hukum internasional dan nasional, perempuan miskin tetap akan lebih terhambat dibandingkan laki-laki untuk mendapatkan makanan yang layak. Hal ini dikarenakan struktur patriarki dalam budaya kita yang harus diterima perempuan, baik dalam negaranya bahkan dalam keluarganya sendiri.
Meskipun mereka adalah pemegang peran utama dalam emproduksi dan mengolah makanan, mereka tidak diakui sebagai produsen secara hukum. Mereka malah dinyatakan sebagai populasi yang paling tidak beruntung. Mereka selalu menjadi yang terakhir dalam menikmati hasil pertumbuhan ekonomi, bahkan yang selalu memperoleh dampak negatif dari proses pertumbuhan ekonomi tersebut.
Faktor lainnya penyebab kemiskinan di negara ini adalah swastanisasi perusahaan-perusahaan yang mengasilkan produk yang menuasai hajat orang banyak. Di kalangan negara berkembang yang termiskin, swastanisasi ternyata menimbulkan dampak negatif dalam distribusi pendapatan, yakni memperlebar kesenjangan kesejahteraan antara si miskin dan si kaya.
Dalam buku Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Proses swantanisasi memunculkan berbagai masalah yang kompleks. Aspek-aspek kelayakan, pendanaan, struktur hak milik dan landasan hukumnya, serta adanya kemungkinan akan semakin dominannya kalangan elit domestik dan berbagai macam kelompok kepentingan. Selain itu, apakah swastanisasi bisa mengatasi, atau malah memperparah struktur-struktur politik, sosial, dan ekonomi. Sebenarnya belum ada bukti yang mengatakan swastanisasi akan menciptakan profitabilitas, efisiensi, serta tingkat output yang lebih tinggi. (Michael P. Todaro, 1998: 271)














BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kebudayaan “cultuur” (bahasa belanda), “culture” (bahasa inggis), “tsaqafah” “bahasa arab),berasal dari perkataan latin “colere” yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti Culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam”.
Budaya kemiskinan adalah satu sosok budaya kolektif, satu pola gaya hidup yang dikonstruksi secara induktif melalui kumulasi perilaku, pola sikap, orientasi nilai dan makin abstrak ke pola kognitif, pikiran, pilihan hidup dan menajdi satu pola gaya hidup.

Saran
Apabila dalam pembuatan makalah ini kelompok kami masih banyak kekurangan, kelompok kami minta maaf. Dan untuk introsfeksi kami, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun, agar kedepannya dapat lebih baik lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar