Rabu, 25 April 2012

KONSEP TEORITIS SISTEM SOSIAL BUDAYA


BAB I
PENDAHULUAN

Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurutSoerjanto Poespowardojo 1993). Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seniagama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia.
Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar.
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
“Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.” (Hlm. 2-18 alinea I) Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Berikut ini definisi-definisi kebudayaan yang dikemukakan beberapa ahli:
1.      Edward B. Taylor
Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
2.      M. Jacobs dan B.J. Stern
Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi social, ideologi, religi, dan kesenian serta benda, yang kesemuanya merupakan warisan social.
3.      Koentjaraningrat
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar.
sedangkan sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menanggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk. Woods mendefinisikan nilai sosial sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Tak heran apabila antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara pada masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.
Dalam pembahasan lebih lanjut disini kami akan membahas tentang konsep teoritis system social budaya dengan pembahasan kajian konsep dasar studi social, bentuk-bentuk kebudayaan, kompnen-komponen struktur kebudayaan, pendekatan sistem terhadap budaya.


















BAB II
PEMBAHSAN

 I.      KAJIAN KONSEP DASAR STUDI SOSIAL
A.    Pengertian study social
Secara umum studi social diartikan sebagai studi mengenai interelasi ilmu-ilmu social dalam menelaah gejala dan masalah social yang terjadi di masyarakat. Secara praktis study social diartikan sebagai usaha mengadakan interelasi ilmu-ilmu social dalam mengkaji gejala dan massalah social yang terjadi di masyarakat (Nursid Sumaatmadja, 1986:38).
Pada batasan diatas terdapat beberapa konsep yang perlu mendapatkan peenjelasan lebih lanjut, penjelasan itu berkaitan dengan:
a.       Interelasi ilmu-ilmu social
Interelasi ilmu-ilmu social yaitu antar hubungan disiplin ilmu akademik ilmu-ilmu social yang digunakan untuk menelaah gejala dan masalah social. Dalam menelaah gejala dan masalah social dapat mengunkapkannya dengan menggunakan satu atau dua bidang ilmu pengetahuan saja, karena gejala dan masalah tersebut merupakan ungkapan hasil hubungan beberapa aspek kehidupan social. Segala bidang ilmu pengetahua social yang ada kaitannya dengan aspek kehidupan social yang melandasi terjadinya gejala dan masalah social harus menjadi pertimbangan untuk dilibatkan. Pendekatan ii disebut engan pendekatan interdisipliner atau pendekatan multidisipliner.
b.      Gejala sosial
Gejala social yaitu gejala yang terjadi dimasyarakat yang ditimbulkan oleh adanya kondisi peristiwa tingkah laku manusia sebagai makhluk social. Gejala social ini merupakan tanda-tanda pengungkapan aspek-aspek kehidupan social manusia di masyarakat. Gejala-gejala tadi, selain dapat kita amati dapat pula kita telaah sebab dan akibatnya.

c.       Masalah sosial
Masalah social, yaitu situasi yang telah menjadi warisan yang turun temurun yang memerlukan perbaikan atau pemecahan, baik yang ditimbulkan oleh kondisi masyarakat atau lingkungan social maupun yang mengundang penerapan kekuatan social dan cara-cara social untuk mengatasinya (Anton Zijderveld, 1984:289). Jadi masalah social merupakan situasi yang tidak menentu yang mengandung persoalan di masyarakat, yang ditimbulkan oleh fariabel-fariabel social yang menuntut pemecahan dengan kekuatan social. Masalah social biasanya merupakan warisan dari masa yang lampau sehingga dapat dikatahan bahwa pemecahan yang telah dilakukan terhadapnya hanya bersifat sementara atau tidak dapat mnyelesaikannya secara tuntas.
Berdasarkan penjelasan yang telah diungkapkan diatas, pemecahan masalah social merupakan kekuatan social dan memerlukan cara-cara social. Hal itu berarti masalah social begitu kompleksnya sehingga tidak dapat dipecahkan oleh kekuatan individu secara perorangan, dengan menggunakan cara sederhana. Ia menuntut pemikiran dan kerjasama berbagai pihak yang berkenaan dengan bidang keahlianya mauoun yang enyangkut kelembagaan. Disinilah pentingnya kedudukan studi social dengan segala cara untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Ruang lingkup studi social
Ruang lingkup studi social dapat diklasifikasikan sebagi berikut:
1)      Manusia dalam konteks social dengan segala aspek kehidupannya
2)      Gejala dan masalah sosia yang terjadi akibat adanya interelasi aspek-aspek kehidupan social.
3)      Penelaahan dan pengkajian sebab-sebab terjadinya gejala dan masalah social.
4)      Penyusunan alternative pemecahan masalah social sesuai dengan factor-faktor penyebarannya.
5)      Penyusunan alternative pengembangan kehidupan social ke tarap yang lebih tinggi dengan memperhatikan kualitas lingkunagan yang menunjang kehidupan yang bersangkutan.
C.    Kesukaran-kesukaran studi sosial
Menurut Nursyid sumaatmadja (1989;45-47) kesukaran-kesukaaran tersebut adalah:
1)      Gejala kehidupan manusia di masyarakat tidak bersifat dikhotomi artinya tidak bersifat ekstrim. Diantara sifat atau gejala yang berlawanan atau bertentangan selalu terdapat sifat atau gejala peralihannya. Suatu sifat atau gejala yang menempati suatu ujung yang bertentangan dengan sifat pada ujung lainnya, selalu dihubungkan oleh sifat yang merupakan peralihannya. Sebagai contoh salah-benar di masyarakat. Sifat slah benar ini tidak ekstrim dan mutlak melainkan ada sifat peraluhannya yang diwarnai oleh situasi dan kondisi, waktu dan tempat. Apa yang ditetapkan sebagi hal yang benar disuatu tempat pada kurun waktu tertentu, belum tentu menjdi hal yang benar pada tempat yang sama pada kurun waktu yang lain.
2)      Kesukaran sebagi pengamat (observer) dan bagian yang sedang diamati (observerd), karena ia juga salah seorang anggota masyarakat yang terlibat dalam kehidupan social. Kenyataan subjeknya ini dapat mewarnai pandangan, pendapat dan kesimpulan yang ditarik sebagai hasil pengamatannya tadi. Sedangkan dalam analisa dan keputusan ilmiah secara objektif, hal itu harus dihindarkan sejauh-jauhnya.
3)      Suatu gejala social yang sedang diamati pada suatu saat, efeknya tidak akan dapat diketahui pada saat itu juga. Efek gejala social sangat lambat memakan waktu puluhan tahun. Dengan demikian pemecahan masalah social berkenaan dengan gejala tersebut tidak akan dapat secara langsung. Ia harus melalui proses yang lama.
4)      Suatu teori atau gagasan yang dikemukakan para ahli kemasyarakatan atau petugas yang berkecimpungan dalam bidang kemasyarakatan, meskipun berkenaan dengan peningkatan kesejahteraan mereka. Penerapan teknologi dalam bidang pertanian tidak dengan mudah diserap dan dilaksanakan oleh para petani yang bersangkutan.

    II.      BENTUK-BENTUK KEBUDAYAAN 
Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk mengklasifikasikan corak atau isi atau bentuk kebudayaan, walaupun begitu, berbagai macam klsifikasi yang dibuat oleh para ahli ilmu social itubukan berbeda-beda dalam spesifikasinya. Menurut Abu Ahmadi (1991:199) para ahli sosiologi pada umumnya sependapat bahwa isi dari kebudayaan itu dapat menjadi dua buah unsur komponen yang nyata, yaitu komponen material dan non material.

A.    Kebudayaan materi
Bagian materi dari kebudayaan itu meliputi segala sesuatu yang telah diciptakan dan digunakan oleh manusia dan mempunyai bentuk yang dapat dilihat dan dapat diraba. Komponen-komponen semacam itu mungkin meliputi tempayan tanah liat yang dibuat oleh suatu suku bangsa primitive maupun kapsul-kapsul ruang angkasa yang dibuat serta yang dihancurkan oleh para ahli yang terpandai dari suatu bangsa yang sudah maju. Kedua benda itu ditandai dengan adanya suatu bentuk fisik dan hal inilah yang menggolongkan kedua jenis benda tersebut did lam ruang lingkup kebudayaan materi. Dengan kata lan eksistensi yang konkrit dari suatu produk buatan manusia, tanpa memandang apapun juga ukurannya, kerumitan pembuatan, tujuan ataupun bentuknya memberikan cirri kepada kebudayaan materi itu.

B.     Kebudayaan non-materi
Aspek non materidari kebudayaan itu merangkum semua buah karya manusia yang ia gunakan untuk menjelaskan serta dijadikan pedoman bagi tindakan-tindakannya, dan itu tak hanya ditemukan dalam pemikiran orang-orang.  Dikenal dua buah kategori pertama meliputi apa yang secara luas dapat didefinisikan sebagai norma-norma individu, sedangkan kategori kedua meliputi kelompok-kelompok norma-norma yang membentuk pranata social.
a.       Norma-norma
Norma-norma itu dapat didefinisikan sebagai standar-standar tingkah laku yang terdapat didlam semua masyarakat, seperti misalnya bagaimana sarannya berpakaian pada peristiwa tertentu atau bagaimana menegur atau menyapa orang-orang dari kelas-kelas yang berlainan.
Istilah norma itu diinterprestasika mencangkup pengetahuan, keyakinan dan nilai-nilai. Konsep-konsep ini telah banyak didefinisikan dan dibahas sebagai unsur-unsur dari system-sistem social. Walaupun begitu, tidak ada salahnya jika dikemukakan bahwa semua yang ada pada fikiran manusia tentang dirinya sendiri, dunianya serta hubungannya dengan sesamanya membentuk kumpilan idée-ide dimana seseorang itu hidup.
b.      Institusi-institusi
Institusi-institusi social pada hakikatnya adalah kumpulan-kumpulan dari norma-norma (struktur-struktur social) yang telah diciptakan untuk dapat melaksanakan sesuatu fungsi dari masyarakat. Institusi ini berbeda dari norma-norma diatas, didalam pengertian bahwa institusi-institusi tersebut meliputi kumpulan-kumpulan norma dan bukannya norma-norma yang berdiri sendiri.
Orang memandang “keluarga”  sebagi suatu kelompok sosial tetapi ia tidak boleh mengacaukan konsep ini dengan kluarga, sebagi suatu institusi social. Sebagai institusi social keluarga bukanlah sebuah kelompok melainkan serangkain pola tingkah laku yang berhubungan dengan fungsi-fungsi untuk melahirkan (menurunkan) keturunan dan berfungsi sebagi perlengkapan masyarakat didalam membentuk warga yang mencerminkan identitas setempat. Keluarga sebagai sebuah kelompok social menjalankan banyak fungsi institusi yang berhubungan dengan institusi-institusi social di luar keluarga, seperti misalnya agama atau politik.  

 III.      KOMPNEN-KOMPONEN STRUKTUR KEBUDAYAAN
Klaasifikasi bisa dilakukan karena kebudayaan bukanlah semata-mata merupakan dari suatu ide-ide (norma-norma), melainkan suatu system yang teratur dari tingkah laku. Komponen-komponen struktur dari kebudayaan sebagai suatu konsep sangat membantu orang untuk menghayati organisasai (system) tingkah laku.

A.    Elemen-elemen kebudayaan
Unit terkecil dari kebudayaan yang dapat didentifisir (kenali)disebut dengan istilah elemen kebudayaan. Dalam hal ini hendaknya berhati-hati untuk tidak mengacaukan antara bahan-bahan mentah dan kebudayaan. Misalnya, sebatang pensil yang dikatakan sebagai sebuah benda kebudayaan karena pensil merupakan suatu produk materi dari tingkah laku yang dipelajari. Memperdebatkan apakah termasuk elemen kebudayaan ataukah tidak, misalnya kayu, grafit pada pensil itu, cat warna dan karet penghhapus di ujung pensil, berarti masih belum memahami masalahnya. Jika unit yang menjadi masalah itu belum menunjukan sesuatu kombinasi dari materi, tindakan dan ide-ide yang berkaitan dengan suatu kebutuhan atau situasi tertentu maka unit itu memenuhi syarat yang dikatakan sebuah elemen kebudayaan. Dengan kata lain cirri-ciri semacam itu harus berhubungan dengan suatu totalitas kebudayaan yang lebih besar, sebagaimana yang akan disaksikan mengenai kompleks-kompleks kebudayaan dibawah ini.
Suatu elemen kebudayaan materi boleh jadi lebih mudah dikenali daripada suatu kebudayaan non materi. Contoh, untuk pertama antara lain ialah benda-benda seperti bola sepak, pensil, dasi, atau ujung anak panah. Elemen-elemen non materi antara lain adalah tindakan-tindakan seperti praktek-praktek.

B.     Kompleks kebudayaan
Istilah yang dipakai untuk menyatakan suatu kombinasi dari elemen-elemen yang berkaitan yang membentuk persyaratan-persyaratan kebudayaan untuk situasi-situasi atau aktivitas-aktivitas tertentu ialah kompleks kebudayaan.
Kadang-kadang ada kekacauan mengenai perbedaan antara kata elemen dan kompleks. Sebenarnya elemen-elemen kebudayaan yang sama didalam peristiwa yang satu dapat disebut sebagai trait tetapi dalam peristiwa lain disebut dengan kompleks. Kontardiksi yang nyata ini akan dapat didekatkan melalui datu sama lain melalui konteks dari pokok pembicaraan.


C.    Pola kebudayaan
Kompleks-kompleks kebudayaan juga saling terpaadu untuk membentuk unit-unit yang lebi luas dari kebudayaan. Unit-unit yang terakhir ini disebut dengan pola-pola atau konfigurasi kebudayaan. Meneruskan contoh diatas sebagi contoh sepak bola, suatu pola kebudayaan olahraga bila sepak bola, bola basket dan atletik, yang msing-masing adalah kompleks-kompleks kebudayaan digabungkan menjadi satu untuk membentuk sebuah pola olahraga. Demikian juga halnya , mobil-mobil dan kebudayaan mekanis lainnya adala tanda-tanda dari suatu pola kebudayaan teknologi didalam suatu masyarakat terlentu.

D.    Tipe-tipe partisipasi kebudayaan
Para ahli ilmu sosial banyak berhutang budi kepada ahli antropologi bernma Linton  R. (1963) berkat klasifikasinya yang baik atas tipe-tipe partisipasi kebudaaan sebagai berikut:
1)      Partisipasi menyeluruh (universal) adalah trait-trait kebudayaan yang diperluakan bagi seluruh anggota dari suatu masyarakat.
2)      Partisipasi pilihan(altenetives) adalah situasi-situasi dimana individu bisa memilih beberapa kemungkinantindakan yang sama,atau hamper sama baiknya dimata masyarakat yang lebih besar.
3)      Partisipasi kekhususan(speciality)adalah aspek-aspek unik dari kebudayaan yang tidak diikuti oleh khalayak ramai secara umum.

E.     Relativisme Kebudayaan
Standar-standar tingkah laku berhubungan dengan kebudayaan dimana standard-standard itu berlaku,yaitu suatu gejala yang disebut dengan  istilah relativitas kebudayaan.
Menurut Kimball young (1942) sifat relative dari kebudayaan ini memberikan suatu penjelasan mengenai tingkah laku. Tiga dari perwujudan-perwujudan dan konsekwensi-konsekwensi sebagai akibat prasyarat-prasyarat yang ditentukan oleh kebudayaan itu adalah :
1)      Fanatisme suku bangsa (ethonosentrisme)
2)      Goncangan kebudayaan (culture shock)
3)      Konflik kebudayaan (culture conflik)

 IV.      PENDEKATAN SISTEM TERHADAP BUDAYA
Oleh karena terdapat banyak pendekatan antropologis terhadap analisis budaya, pendekatan system terkoordinasi ini sebagi suatu alternative, suatu system dalam hal ini adalah suatu kumpulan atau kombinasi teratur dari bagian-bagian yang saling berhubungan yang merupakan suatu kesatuan.

A.    System kekeluargaan
Ini menyangkut hubungan-hubungan keluarga dan cara bagaimana sekelompok orang memerankan, melatih, dan mensosialisasikan anak-anak mereka, bentuk keluarga di amerika pada umumnya adalah keluarga inti dan merupakan keluarga yang agak independent, dalam budaya-budaya lain mungkin terdapat kluarga yang luas (extended family) yang terdiri dari beberapa generasi yang dipersatukan menurut garis lelaki (patrilineal) atau menurut garis perempuan (matrilineal). Kluarga-kluarga demikian memiliki pengaruh yang kuat atas pengasuhan anak, dan sering juga atas pembangunan bangsa. Manajer multinasaional perlu memperhatikan pentingnya pengaruh ini untuk mengawasi para pekerja minoritas secara efektif . pengaruh dan loyalitas keluarga dapat mempengaruhi prestasi kerja atau perundingan-perundingan bisnis.

B.     System pendidikan
Ini berkenaan dengan cara bagaimana anggota-anggota muda atau anggota-anggota baru masyarakat memperoleh informasi, keterampilan, pengetahuan, dan nilai-nilai. Dalam suatu budaya system pendidikan mungkin formal atau in formal.


C.    Sisitem ekonomi
Ini menyangkut cara masyarakat menghasilkan dan menyalurkan barang-barang dan jasa-jasa pelayanannya. System ekonomi jepang merupakan perluasan keluarga dan berorientasi kelompok sehingga banyak orang asing yang melihatnya sebagai “japan,Inc” dewasa ini sebagaian besar dunia terbagi mejadi blok ekonomi kapitalistik dan blok ekonomi sosialistik. Namun, tampak jelas bahwa suatu pembaruan sedang terjadi dan bentuk-bentuk kerjasama ekonomi regionalpun berlangsung melewati batas-batas nasional dan ideologis.

D.    System politik
Ini mrupakan alat utama pemerintah untuk memelihara keteraturan dan mlaksanakan kekuasaan atau wewenang. Sebagian budaya yang masih primitive dimana kepala suku memerintah, budaya-budaya lain di timur tengah memiliki keluarga kerajaan yang memerinntah dengan rajanya sebagai kepala pemerintahan. Sementara masyarakat dunia nampaknya berada berada pada suatu transisi yang melewati Negara bangsa, menejer cosmopolitan dituntut untuk memahami dan menghadapi pemerintahan-pemerintahan Karena struktur pemerintah-pemerintah tersebut dewasa ini demikian beraneka ragam.

E.     System agama
System agama berkenaan dengan cara memberi makna dan motivasi pada kehidupan selain aspek-aspek material, yaitu aspek kehidupan spiritual atau pendekatannya terhadap hal-hal yang gaib. Pentingnya hal itu telah disinggung terdahulu dalam “kepercayaan dan sikap”. System yang penting ini dapat membawa sekelompok orang mencapai puncak-puncak kejayaan, seperti yang terlihat dalam pyramid-piramid mesir dan zaman kebangunan kembali (renaisence) eropa.



F.     System social
Ini menyangkut jaringan pengelompokan social yang dibentuk orang-orang. Kelompok-kelompok masyarakat  ini bisa merupakan kelompok persaudaraan (praternal), kelompok-kelompok rahasia dan asosiasi-asosiasi profesonal atau dagang.

G.    System kesehatan
System kesehatan berkenaan dengan cara suatu budaya menghindari dan mengobati penyakit, atau merawat korban bencana alam atau kecelakaan. Konsep kesehatan dan masalah-masalah medis berlainan antara budaya yang satu dengan yang lainnya.

H.    System rekreasi
Ini menyangkut cara-cara suatu bangsa bergaul, atau menggunakan saat santai mereka. Apa yang dianggap “bermain” dalam suatu budaya mungkin dapat dianggap “kerja” dalam suatu budaya lain.














BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
¯  budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia dengan cara belajar. Sedangkan sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat
¯  Secara umum studi social diartikan sebagai studi mengenai interelasi ilmu-ilmu social dalam menelaah gejala dan masalah social yang terjadi di masyarakat.
¯  Interelasi ilmu-ilmu social yaitu antar hubungan disiplin ilmu akademik ilmu-ilmu social yang digunakan untuk menelaah gejala dan masalah social.
¯  Gejala social yaitu gejala yang terjadi dimasyarakat yang ditimbulkan oleh adanya kondisi peristiwa tingkah laku manusia sebagai makhluk social
¯  Masalah social, yaitu situasi yang telah menjadi warisan yang turun temurun yang memerlukan perbaikan atau pemecahan, baik yang ditimbulkan oleh kondisi masyarakat atau lingkungan social maupun yang mengundang penerapan kekuatan social dan cara-cara social untuk mengatasinya (Anton Zijderveld, 1984:289).
¯  Istilah norma itu diinterprestasika mencangkup pengetahuan, keyakinan dan nilai-nilai. Institusi-institusi social pada hakikatnya adalah kumpulan-kumpulan dari norma-norma (struktur-struktur social) yang telah diciptakan untuk dapat melaksanakan sesuatu fungsi dari masyarakat.

OTONOMI DAERAH

OTONOMI DAERAH

Makalah ini di ajukan sebagai tugas kelompok
Mata kuliah : PKN (Pendidikan Kewarganegaraan )
Dosen pembimbing : Drs.Sugianto















Disusun oleh:
Fakiyudin
Fitriyanti
Irwan
Lidia Wulandari
Sartono
Sischa Wahyuni






PROGARAM STUDI TADRIS IPS -A SEMESTER 1


JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI CIREBON
(STAIN CIREBON)
2009

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
 Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak dibicarakan. Otonomi Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan masayarakat awam. Semua pihak berbicara dan memberikan komentar tentang “otonomi daerah” menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing. Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap otonomi daerah sangat disebabkan perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang digunakan.

 Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda, prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. Sedangkan saat ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonoi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
1.2  Pembahasan Makalah
    Dengan diberlakukannya otonomi daerah diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat yang semkin baik, perkembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.3  Metode Penulisan
 Dalam pembuatan makalah ini, penyusun menggunakan metode literatur atau kepustakaan yang berhungan dengan permasalahan, serta mencarinya melalui media internet.














BAB II
OTONOMI DAERAH


2.1              Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri".Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya.
Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.
Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat.[3] Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.

2.2              Otonomi Daerah Saat Ini
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk menatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah. sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semkin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 adalah:
1.          Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
2.          Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
3.          Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4.          Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
5.          Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.
6.          Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
7.          Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
8.                  Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang dilaksanakan mulai 1 Januari 2001 terdapat beberapa permasalahan yang perlu segera dicarikan. pemecahannya. Namun sebagian kalangan beranggapan timbulnya berbagai permasalahan tersebut merupakan akibat dari kesalahan dan kelemahan yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga merekapun mengupayakan dilakukannya revisi terhadap UU 22/1999 tersebut..
Jika kita mengamati secara obyektif terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang baru berjalan memasuki bulan kesepuluh bulan ini, berbagai permasalahan yang timbul tersebut seharusnya dapat dimaklumi karena masih dalam proses transisi. Timbulnya berbagai permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena terbatasnya peraturan pelaksanaan yang bisa dijadikan pedoman dan rambu-rambu bagi implementasi kebijakan Otonomi Daerah tersebut. Jadi bukan pada tempatnya jika kita langsung mengkambinghitamkan bahkan memvonis bahwa UU 22/1999 tersebut keliru.



2.3              Otonomi Daerah dan Prospeknya di Masa Mendatang
Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 22/1999 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan Otonomi Daerah dapat diperkirakan prospek ke depan dari Otonomi Daerah tersebut. Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu pendekatan yang kita gunakan disini adalah aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Dari aspek ideologi , sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek kehidupan bangsa Indonesia .
Dari aspek politik , pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat kepada Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas kepada Daerah akan menciptakan hubungan yang harmonis antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya kondisi akan mendorong tumbuhnya dukungan Derah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap peningkatan kehidupan politik di Daerah.
Dari aspek ekonomi , kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.
Dari aspek sosial budaya , kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa, agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta potensi lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan Pusat terhadap keberagaman Daerah merupakan suatu nilai penting bgi eksistensi Daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan sejajar dengan suku bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya nasional.
Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan , kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada masing-msing daerah untuk memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan Nasional. Pemberian kewenangan kepada Daerah akan menumbuhkan kepercayaan Daerah terhadap Pusat. Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan Daerah terhadap Pusat akan dapat mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi, politik, sosal budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal kebijakan Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa kebijakan Otonomi Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara.
Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu :
·         Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
·         Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
·         Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam pemerintah dalam mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah.
Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi Daerah mempunyai prospek yang sanat cerah di masa mendatang. Kita berharap melalui dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa kebijakan Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
2.4  Persiapan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Kasus: Kota Sukabumi, Jawa Barat
Secara umum, hasil survey perdana di Kota Sukabumi, Jawa Barat menunjukkan bahwa metode penelitian yang disiapkan Tim SMERU cukup baik. Informasi yang diperoleh mencakup semua hal yang harus di kumpulkan sesuai dengan tujuan penelitian. Jangka waktu kunjungan lapangan (dua minggu) serta cakupan jenis dan jumlah responden cukup dan tepat. Hal yang masih memerlukan penyempurnaan adalah penyesuaian materi wawancara dengan perbedaan tingkat kemampuan dan pemahaman responden terhadap kebijakan otonomi daerah.
Kota Sukabumi dijadikan lokasi survey karena terpilih sebagai sample yang mewakili kota kaya (diukur dari tingkat PDRB perkapita) di Indonesia. Lokasinya yang relatif dekat dengan ibukota negara, Jakarta, membuat kota ini yang juga mewakili Propinsi Jawa Barat relatif responsif terhadap dinamisme perkembangan politik dan ekonomi di ibukota, termasuk dalam masalah kebijakan otonomi daerah. Tidak heran kalau hasil survey menunjukan bahwa Pemda Kota Sukabumi dan Propinsi Jawa Barat pada umumnya telah mulai melakukan berbagai persiapan nyata untuk menyongsong pelaksanaan UU No.22, 1999 dan UU No.25, 1999.
Namun demikian, walaupun Pemda Jabar dan Kota Sukabumi telah melakukan kegiatan sosialisasi dalam bentuk lokakarya dan semacamnya, kenyatannya tujuan dan misi kedua UU tersebut belum sepenuhnya dimengerti oleh warga masyarakat, terutama yang berada di dua kelurahan sampel, termasuk aparat Pemda. Pemahaman yang bersifat kontroversial masih ada. Pengertian yang kontroversial itu antara lain muncul dalam bentuk: a) adanya keraguan sebagian responden terhadap kecilnya kemungkinan akan terjadi perubahan sikap dan mental (sentralistis dan KKN) para aparat daerah meskipun mereka bersemangat besar untuk menerima otonomi; b) sifat kritis DPRD untuk menanggapi tuntutan masyarakat terhadap perbaikan pelayanan publik serta pengungkapan berbagai kasus KKN selama masa orde baru dinilai oleh aparat Pemda sebagai "mabuk demokrasi" dan "salah fungsi;" c) adanya penerbitan beberapa regulasi untuk memperluas basis pungutan daerah untuk meningkatkan PAD. Tim Studi Otonomi Daerah SMERU mengkhawatirkan bahwa langkah terakhir ini akan menjadi bumerang bagi Pemda, dalam bentuk munculnya sikap penolakan rakyat terhadap pelaksanaan otonomi daerah.
Khusus menyangkut PAD, oleh Pemda masih dianggap sebagai suatu yang sifatnya dilematis. Bagi Kota Sukabumi yang SDA-nya tidak besar, maka yang akan menjadi tumpuan belanja daerah adalah pajak dan retribusi. Dalam hal inipun tidak dapat diandalkan karena di samping kemampuan objek pajak dan retribusi sangat terbatas, juga karena kebijakan otonomi daerah tidak mengenal fiscal decentralization. Harapan satu-satunya adalah kucuran dana dari pusat. Dalam kaitan ini, walaupun dikatakan bahwa pusat akan memberikan alokasi dana kepada daerah (sesuai prinsip expenditure decentralization), namun jumlahnya belum jelas, lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan yang diterima selama ini. Indikasi bahwa pemerintah pusat mau mengikutsertakan pembiayaan dan perlengkapan, kecuali pegawai, dalam rangka penyerahan berbagai urusan ke daerah juga belum terlihat oleh daerah. Sementara itu, telah terbayang oleh Pemda bahwa dengan makin banyaknya urusan yang diserahkan kepada daerah berarti makin banyak biaya yang harus dikeluarkan. Jika sisi penerimaan lebih rendah dari pada sisi pengeluaran, maka pelayanan kepada masyarakat akan merosot dan/atau dirasakan makin mahal oleh rakyat.
Masalah lain yang mencuat dari hasil survei adalah proses transfer pegawai pusat dan propinsi ke daerah. Persoalan ini termasuk yang paling krusial karena menyangkut manusia. Terdapat kesan bahwa aparat Pemda pada dasarnya tidak menghendaki adanya transfer pegawai dari luar daerah, karena dapat menjadi saingan yang mengancam posisi dan perkembangn karir mereka. Sikap penolakan ini semakin diperkuat oleh adanya Surat Edaran Depdagri (N0.061/729/SJ/2000) yang membatasi struktur organisasi Dinas Kabupaten/Kota, yang berarti pula bahwa jumlah jabatan "puncak" di daerah tidak berkembang searah dengan pertambahan jumlah pegawai mutasi yang berpangkat "tinggi." Persoalan yang dikhawatirkan adalah kemungkinan munculnya konflik internal yang dapat melemahkan kemampuan Pemda dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Studi perdana di kota Sukabumi belum melihat adanya konsep dan langkah strategis Pemda untuk mengatasi masalah krusial tersebut, kecuali menginventarisasi jumlah pegawai yang akan dimutasi.
Menyangkut restrukturisasi organisasi pemerintahan, Pemda masih terkesan bingung karena belum jelasnya batasan wewenang yang diberikan pusat kepada mereka. Jika otonomi diserahkan ke Pemda berarti juga harus termasuk pengaturan organisasinya. Tetapi, pengertian ini belum tentu sejalan dengan isi UU No.22, 1999 dan keinginan pusat yang justru menghendaki struktur organisasi di daerah lebih ramping dan efisien dari pada sebelumnya.
DPRD sudah mulai kritis dan berperan aktif menanggapi berbagai tuntutan masyarakat. Sifat kritis itu masih dipertanyakan aparat Pemda apakah sudah mengarah pada demokrasi yang akan dibangun atau sifatnya masih merupakan `demonstrasi` yang bertujuan meredam gejolak yang muncul di masyarakat. Sikap skeptis tersebut mengemuka karena: a) kualitas dan integritas para anggota dewan masih relatif rendah; b) partai yang diwakili anggotanya di DPRD belum memiliki rumusan visi, konsep, dan kebijakan yang jelas tentang pembangunan daerah; c) partai belum mandiri karena masih sering mengharapkan bantuan dana operasional partai dari pemerintah.
Selain oleh DPRD, kontrol sosial terhadap pelayanan publik oleh Pemda juga sudah dilakukan oleh pers lokal. Pers juga ikut melakukan sosialisasi (secara tidak langsung) tentang kebijakan otonomi daerah kepada masyarakat. Namun demikian, bagi anggota masyarakat, terutama pengusaha, yang menjadi indikator utama sukses tidaknya pelaksanaan otonomi daerah adalah antara lain: a) apakah pelayanan publik makin lancar, transparan, dan tidak ada lagi pungli; b) proses tender proyek pemerintah tidak lagi direkayasa atau diintervensi oleh pemerintah; dan c) pajak dan retribusi tidak makin meluas dan memberatkan rakyat. Pada kenyatannya, hingga sekarang semua hal tersebut, terutama pungli, masih tetap berlangsung walaupun tidak lagi secara terang-terangan.



















KESIMPULAN

©      Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
©      Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
©      Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk menatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
©      Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 22/1999 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
©      Secara umum, hasil survey perdana di Kota Sukabumi, Jawa Barat menunjukkan bahwa metode penelitian yang disiapkan Tim SMERU cukup baik. Informasi yang diperoleh mencakup semua hal yang harus di kumpulkan sesuai dengan tujuan penelitian. Jangka waktu kunjungan lapangan (dua minggu) serta cakupan jenis dan jumlah responden cukup dan tepat. Hal yang masih memerlukan penyempurnaan adalah penyesuaian materi wawancara dengan perbedaan tingkat kemampuan dan pemahaman responden terhadap kebijakan otonomi daerah.