BAB I
PENDAHULUAN
Pengertian
Kebudayaan
Kebudayaan “cultuur” (bahasa belanda), “culture” (bahasa
inggis), tsaqafah” (bahasa arab),berasal dari perkataan latin “colere” yang
artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah
tanah atau bertani. Dari segi arti
ini berkembanglah arti Culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk
mengolah dan mengubah alam”.
Ditinjau dari sudut bahasa Indonesia,
kebudayaan berasal dari bahasa sensakerta “budhaya” yakni bentuk jamak dari
budhiyang berarti budi atau akal. Jadi kebudayaan adalah hasil budi atau akal
manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup.
E.B. Tayor merumuskan definisi secara
sistematis dan ilmiah tentang kebudayaan sebagai berikut : “kebudayaan adalah
komflikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat, serta lain-lain kenyataan dan
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat”.
Dalam pendapat sosiologi, kebudayaan
meliputi semua hasil cipta, karsa rasa dan karya manusia baik yang material
maupun nonmaterial (baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat
kerohanian).
Di dalam masyarakat , kebudayaan itu
disatu pihak dipengruhi oleh anggota masyarakat, tetapi dilain pihak anggota
masyarakat itu di pengaruhi oleh kebudayaan. Misalnya : orang eropa yang
beriklim dingin terpaksa harus membuiat pakaian tebal “kebudayaan” adalah suatu
hasil cipta dari pada hidup bersama yang berlangsung berabad-abad. Jadi pada
pokoknya tiap-tiap manusia itu pasti mempunyai kebudayaan yaitu gejala-gejala
jiwa yang dimiliki oleh manusia, dan yang membedakan manusia dengan
binatang
Dengan hasil budaya indoesia terjadilah
pola kehidupan, dan pola kehidupan inilah yang menyebabkan hidup bersama dan
dengan mempengaruhi cara berfikir dan gerak sosial. Contoh kehidupan umat islam
di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatra berlain-lain bentuknya, sebab pola
kehidupan mereka juga lain, kerena adanya pengaruh lingkungan di daerah itu.
Manusia hidupnya selalu didalam
masyarakat. Bahwa hidup bermasyarakat itu adalah perlu bagi manusia agar
benar-benar dapat mencapai tarap hidup kemanusiaan. Tanpa masyarakat hidup
manusia tidak dapat menunjukan sifat-sifat kemanusiaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan Manusia Dan Kebudayaan
Terdapat konsepsi tentang kebudayaan manusia yang
menganalisa masalah-masalah hidup sosoal-kebudayaan manusia. Konsepsi tersebut ternyata memberi gambarn kepada kita
bahwasannya hanya manusialah yang mampu berkebudayaan. Sedang pada hewan tidak
memiliki kemampuan tersebut. Mengapa hanya manusia saja yang memiliki
kebudayaan? Hal ini dikarenakan manusia dapat belajar dan dapat memahami
bahasa, yang semuanya itu bersumber pada akal manusia.
Kesimpulannya : bahwa manusialah yang
dapat menghasilkan kebudayaan, dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa adanya
manusia.
B.
Hubungan
Masyarakat Dengan Kebudayaan
Masyarakat adalah kumpulan manusia yang hidup dalam suatu
daerah tertentu, yang telah cukup lama, dan mempunyai aturan-aturan yang
mengatur mereka, untuk menuju kepada tujuan yang sama. Dapat diibaratkan, manusia adalah sumber kebudayaan, dan
masyarakat adalah satu dunia besar, manusia mengangsung (mengambil) air dari
danau itu. Maka dapatlah dikatakan manusia itu “mengangsung apikula
warih”(ambil air berpikulan air). Sehingga tidaklah habis air dalam danau itu, melainkan
bertambah banyak karena selalu ditambah oleh orang yang mengambil air tadi.
Jadi erat kali hubungan antara masyarakat dengan kebudayaan. Kebudayaan tak
mungkin timbul tanpa adanya masyarakat dan eksistensi masyarakat itu hanya
dapat dimungkinkan oleh adanya kebudayaan.
Filusuf Hegal dalam abad ke-19
membahas budaya sebagai keterasingan manusia sebagai dirinya sendiri. Dalam
berbudaya manusia tidak menerima begitu saja apa yang disediakan oleh alam
tetapi mengubahnya dan mengembangkannya lebih lanjut. Itulah yang dimaksud
keterlepasan atau keterasingan dan akibatnya terjadi aneka ketegangan
terus-menerus yang mendorong kebudayaan itu.
Van Paursen berusaha menjelaskan hal
yang nampaknya serba bertentangan itu demikian : mansia dengan mengembangkan
alam ia memesukan dirinya kedalam dirinya sendiri. Karena manusia tidak secara
otomatis menyatukan dengan alam (tetapi melalui berbagai sarana) maka ia
berbudaya. Dengan demikian manusia menjadi mampu untuk membuat ketegangan
dengan alam dan dari ketegangan itu meletupnya api budaya.
Dalam pengalaman sejarah umum manusia,
dikenal juga gejala-gejala kelelahan budaya. Manusia mendambakan kehidupan
bangsa primitif yang penuh dengan ritus, adat, hiasan dan magiyang serba
menarik. Orang jemu dengan budaya yang melelahkan ini dan ingin nikmat secara alami. Kadang-kadang orang
mengira semakin maju budayanya semakin banyak dosa yang dibuat, sebaliknya
budaya itu semakin primitif semakin suci.
Dalam budaya modern sekarang
bermunculan kecendrungan manusia (misalnya kaum hipis dan kaum urakan ala
Rendra) untuk melarikan diri dari budaya dan kembali pada alam. Klages (1930)
menulis “budaya merupakan bahaya bagi manusia sendiri.” Budaya yang dimaksud
upama teknik, peradaban pabrik berasap, uadara yang penuh debu, kota yang
kotor, hutan yang makin gundul, kediktatoran akal, dan budi yang tamak.
Di dalam budaya sendiri terkadang
termuat kuasa-kuasa yang mengancam dan mampu menyeret manusia kedalam jurang
kerusakan. Sehubungan dengan itu Proud dalam brosurnya berjudul “das unbehagen
in der kultur” (deita didalam budaya) menjelaskan bahwa budaya bersipat
neurotis. Dan dalam buku lain yang berjudul “die zunkefteiner illusion”
(masadepan suatu fusi)bahwa sumber budaya bersumber dari anfsu birahi (eros)
dan kedauratan atau situasi kepepet. Yang pertama mendorrongnya untuk
bermasyarakat dan yang kedua mendorongnya untuk bekerja.
C.
Budaya membutuhkan etika
Di dalam alam maupun
budaya tersembunyilah bahasa Hoenderdaal menyimpulkan, budaya itu bagai manapun
merupakan bagian dari manusia, baik sebagai hal yang berharga sehingga harus
dikejarnya. Maupun sebagai hal yang tek berharg yang sehingga harus dijauhinya.
Budaya dengan ini mirip dengan Tuhan.
Yang harus kita dekati, akan tetapi jika kita gegabah memandangnya sebagai
sesama kita, maka sikap ini akan mengancam kelestarian kita sendiri. Budaya
juga demikian itu, disamping membawa kemuliaan kepada kita sekaligus juga
membawa laknat. Budaya manusia menaklukan alam. Alam dan budaya merupakan dua
kutub yang saling memerlukan dan memberi ruang kehidupan bagi manusia. Budaya
yang meluas dan meningkat seperti halnya yang terdapat pada ilmu, cenderung
membahayakan bagi manusia sendiri, yang menciptakannya, ekspensi yang hebat
dari teknik menghasilkan imperialisme teknik sehingga mengancam budaya susila.
Contoh: dulunya perkakas itu merupakan perpanjangan tangan manusia, akan tetapi
manusia malah cenderung menjadi perpanjangan perkakasnya, sehingga budaya dengan
itu mengancam manusia. Seorang manusia dengan kerja robot dapat secara hidup
secara teknis dan etis pula untuk perkembangnya ruamng hidup yang manusiawi tak
dapat ditempuh jalan yang mengagungkan budayawi saja ataupun yang alami saja.
Kedua-duanya harus ditempuh bersama, yakni alam dan budaya dimana budaya itu
sendiri tak boleh dijumbuhkan dengan teknik. Akan tetapi harus dihayati dalam
cakupan ilmu etika dan seni.
D.
Budaya Sebagai Pilar kemajuan
Budaya, menurut Cliffort Geertz, adalah seluruh cara hidup
dari sebuah masyarakat: nilai, praktik hidup, simbol, lembaga, dan hubungan
antarmanusia. Sebagai cara hidup, budaya oleh Patterson, salah satu kontributor
buku ini, dipahami sebagai jawaban terhadap aneka pertanyaan tentang mengapa
terjadi perbedaan tingkat keterampilan, kemakmuran, kecakapan, dan upah di
antara berbagai bangsa.
Budaya menjadi faktor dominan dalam
mendorong kemajuan. Maju berarti hidup yang lebih panjang, lebih sehat, tanpa
banyak belitan derita, dan lebih berbobot. Secara sosial, maju berarti
terciptanya hubungan yang saling menguntungkan di antara berbagai kelompok,
tanpa ada prasangka dan diskriminasi yang memicu kekerasan.
Etos kerja keras, berhemat, dan
menabung merupakan nilai budaya yang menjadi pilar kemajuan bangsa. Minoritas
etnis China di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Amerika Serikat merupakan
contohnya. Begitu pula etnis Basque di Spanyol dan Amerika Latin serta etnis
Yahudi di mana pun, merupakan kekuatan ekonomi yang unggul.
Meskipun demikian, penolakan terhadap
eksistensi budaya masih kerap terjadi. Kadang budaya hanya menjadi suplemen
dari teori pilihan rasional. Budaya dilihat sebagai "adonan adat
istiadat", sebentuk fosil tua yang dikagumi, namun tidak digunakan. Budaya
dianggap statis dan dangkal sehingga tidak mampu mengurai benang kusut
kehidupan modern.
Terabaikannya budaya membuat negara
gagal merumuskan kebijakan secara tepat, investasi melayang, dan usaha
produktif gulung tikar. Implikasi lanjutannya adalah dehumanisasi: perbudakan
manusia atas kemewahan materi. Nilai kompetisi diruntuhkan oleh pendewaan
politik sarat eksploitasi. Kekayaan dan kemewahan diperoleh dengan kemampuan
memelihara hati dan kebaikan sang raja, bukan oleh etos kerja keras dan sifat
berhemat.
Budaya juga memiliki potensi untuk menghambat
kemajuan. Daniel Etounga-Manguelle (hal 126-128) mencatat bahwa budaya Afrika
kurang mendukung kemajuan. Prinsip orang Afrika adalah "kerja untuk
hidup", bukan "hidup untuk bekerja". Pesta merupakan
kecenderungan yang berlebihan. Setiap hal merupakan dalih untuk perayaan:
kelahiran, pembaptisan, pernikahan, ulang tahun, promosi, perkabungan,
pembukaan kongres, dan sebagainya. Apakah gaji seseorang itu besar atau kecil,
apakah lumbung padi seseorang itu penuh atau kosong, pesta haruslah mewah dan menghadirkan
banyak tamu.
E.
Pengaruh Budaya Terhadap Politik
Budaya rentan terhadap pengaruh
politik. Sifat pemerintah yang buruk bisa mengubur nilai-nilai budaya yang
mendukung kemajuan. Sifat sederhana dan jujur dikalahkan oleh budaya kemewahan
dan kemunafikan, solidaritas dipinggirkan oleh kultur intrik di antara elite
politik untuk mengakumulasi materi, termasuk melanggar aturan main.
Budaya juga sering dipakai oleh analis
reaksioner dan tokoh publik yang mengaitkan masalah sosial kaum miskin dengan
"nilai-nilai" mereka dan dengan demikian mencuci tangan pemerintah
dari kesalahan desain politik pembangunan yang korup dan memarjinalkan rakyat
(hal 302).
Kondisi ini perlu diretas melalui
kepemimpinan politik yang kuat dan memiliki integritas. Lee Kuan Yew menjadi
tokoh penting dalam hal ini. Ia mampu mengikis tingkat korupsi di Singapura.
Pola hidup sederhana dan penegakan hukum menjadi topangannya. Di saat yang
sama, etos kerja keras, jujur, sportif, dan berhemat terus dipacu. Ini semua
menjadi faktor yang bisa menjelaskan mengapa Singapura tampil menjadi salah
satu naga kecil perekonomian Asia bersama Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan.
Pengalaman serupa terjadi di Jepang.
Ketika restorasi menjadi sumber perdebatan publik, pemimpin Jepang hadir
sebagai kekuatan yang menyatukan. Sikap rezim baru yang menjunjung moral dan
integritas membuat mereka diterima semua kelompok.
Jepang bukan saja sukses melewati
krisis dengan damai, tetapi juga mampu memasuki modernisasi dengan sistem yang
baik, pemerintahan yang efektif, tingkat melek huruf yang tinggi, eratnya
struktur kekeluargaan, dan etos kerja keras serta disiplin diri.
Di negeri ini, begitu banyak ajaran
tentang pentingnya integritas dan keteladanan penguasa. Budi luhur penguasa
tampak dalam cara ia menjalankan kekuasaannya. Ia harus sepi ing pamrih,
artinya tidak boleh terikat oleh hawa nafsu dan kepentingan pribadinya. Ia
harus bersih dari angkara murka supaya dapat menjadi heneng, hening, hawas, dan
heling (diam, jernih, awas, dan ingat).
Penguasa harus menggunakan
kekuasaannya secara halus dan terhormat. Ia diharapkan mampu membawa keadilan
dan kemajuan tanpa perlu menggunakan cara-cara kasar. Keluhuran kepemimpinan
terangkum dalam prinsip: sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, unggul tanpa
bala, menang tanpa ngasorake (kaya tanpa benda, tak terkalahkan tanpa senjata,
unggul tanpa tentara, menang tanpa merendahkan) (Suseno, 2003, 36-37).
Buku ini terdiri dari 7 bab dan
menyajikan pemikiran para pakar tentang bagaimana skenario mengoreksi dan
menghidupkan budaya dalam mendorong kemajuan suatu bangsa. Pesan penting buku
ini adalah: budaya merupakan faktor yang amat menentukan bagi mati hidupnya
suatu bangsa. Kematian budaya merupakan indikasi kehancuran bangsa.
Para penentu kebijakan dan masyarakat
disarankan membaca buku ini dalam merefleksikan aneka derita yang kini
mengimpit bangsa. Boleh jadi, kita, terutama para elite politik dan pemerintah,
telah melupakan nilai-nilai budaya sederhana, jujur dan kerja keras, serta
berhemat. Akibatnya, kemajuan sering menjadi
impian kosong.
F.
Budaya Yang Menyebabkan Kemiskinan
Penyebabnya adalah jika data yang digunakan untuk menghitung ketimpangan
tidak akurat dalam merepresentasikan golongan kaya. Hal ini bisa disebabkan
budaya orang Indonesia yang “low
profile” sehingga melaporkan pengeluaran lebih kecil dari yang
sebenarnya. Penyebab yang lain adalah jika sampel data survei rumah tangga
kurang mewakili golongan pendapatan tinggi.
Angka koefisien Gini di pedesaan sudah relatif akurat, tetapi angka
koefisien Gini di perkotaan sangat under-estimated.
Hal ini masuk akal, mengingat golongan sangat kaya di pedesaan tentunya hampir
tidak ada jika dibandingkan dengan golongan sangat kaya yang tidak terwakili di
perkotaan. Untuk tahun 2002, misalnya, angka koefisien Gini di perkotaan hampir
mencapai angka 0,6, jauh lebih tinggi daripada yang tercatat saat ini, yaitu
0,35. (opini pakar ekonomi Arief A. Yusuf).
Orang di desa yang dengan susah payah mengumpulkan pendapatannya (yang jauh
bila dibandingkan pendapatan orang kota) untuk memenuhi kebutuhannya tetapi
justru sebagian besar pendapatannya mengalir dengan deras menuju kota. Untuk
kondisi seperti ini semestinya pihak terkait (pemerintah, lembaga dan
organisasi kemasyarakatan serta perguruan tinggi) dapat mengkaji dan menelaah
kembali bila perlu dilakukan survey
bagaimana aliran distribusi masyarakat dan arus konsumsi masyarakat di dua
wilayah tersebut (kota dan desa) terjadi, sehingga akan diperoleh data
ketimpangan pendapatan yang akurat sebagai informasi.
Masyarakat desa dianggap demikian lugu dengan kondisi lingkungannya,
sedikit sekali temuan dan inisiatif serta gagasan yang dapat berkembang dan
mampu menciptakan potensi dan keunggulan komparatif, sebagian kecil contohnya
adalah desa yang memiliki potensi pertanian yang luas tetapi pada kenyataannya
masyarakat tidak mampu menjadikan potensi tersebut sebagai keunggulan bersaing
dengan desa yang justru tidak memiliki potensi tersebut, telah banyak kejadian
yang mencatat bagaimana para petani menuntut perbaikan kesejahteraan di sektor
pertanian dan hal itu terus berlangsung hingga kini.
Secara umum masyarakat mengetahui apa itu lingkaran kemiskinan, setiap
pemerintah menggulirkan program bantuan bagi masyarakat terdapat beberapa skema
yang mencantumkan alur kemiskinan masyarakat, misalnya beberapa pertanyaan yang
berhubungan “mengapa miskin?” salah satu jawabannya “karena tidak sekolah,
sehingga tidak bisa bekerja”, kemudian “mengapa tidak bekerja?” jawabannya akan
kembali ke atas yaitu “karena miskin”. Tidaklah mudah memutus rantai
kemiskinan, meskipun diketahui sumber yang membuat masyarakat miskin tetapi itu
memerlukan waktu dan konsekuensi yang tinggi untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera seperti dicita-citakan bangsa Indonesia.
Bantuan langsung tunai (BLT) diberikan untuk rakyat miskin di luar Jawa.
Untuk Jawa, yang mencakup 80 persen jumlah penduduk Indonesia, dengan rata-rata
tingkat kemiskinan 10-15 persen, difokuskan pada program padat karya (cash for
work). Untuk di Jawa, kesehatan, raskin, dan pendidikan masih bisa digratiskan.
Pemberian BLT dipertanyakan efektivitasnya. Kerja Badan Pusat Statistik
(BPS) dipertanyakan, apakah dalam pendataan sudah meliputi semua orang miskin?
Ataukah pendataan itu hanya secara acak saja? Salah satu Ketua RT di Kelurahan
Braga mengatakan pegawai BPS datang ke tempatnya sudah berulang kali meminta
Ketua RT tersebut untuk memberikan data terbaru penduduk miskin di wilayahnya.
Akan tetapi, yang terjadi data penduduk miskin tidak pernah diubah sesuai
dengan pendataan Ketua RT. Ada yang seharusnya tidak menerima BLT, justru
menerima. Namun, yang seharusnya menerima BLT, malah tidak menerima BLT. Siapa
yang dapat mengontrol kinerja anggota BPS?
Dikhawatirkan pemberian BLT atau pemberian tunai sejenis lainnya justru
malah membuat budaya mengemis. Orang miskin bisa saja menjadi malas bekerja dan
terlalu berharap dengan bantuan itu. Uang pemberian itu juga nantinya akan
habis dengan cepat. Alangkah lebih baiknya apabila orang-orang miskin diberi
fasilitas atau lapangan pekerjaan agar mereka bisa mengembangkan pekerjaan
mereka.
Para petani juga senantiasa tertindas oleh kerakusan para pembeli beras.
Untuk menanam padi, banyak di antara mereka meminjam uang, biasanya kepada
rentenir. Perjanjiannya panen dilunasi. Ketika panen tiba, mereka akan menjual
gabah mereka dalam kondisi yang kurang bagus, kadar airnya tinggi, sebab mereka
membutuhkan uang secepatnya untuk hidup. Tentu saja, harga gabah mereka murah.
Jadi hutang-hutang mereka bisa terbayar. Sisanya tentu tidak seberapa. Ketika
paceklik tiba mereka sudah tidak punya uang lagi, pinjam lagi. Dan seterusnya
seperti lingkaran.
Pinjaman luar negeri pada masa Orde Baru turut menjadi penyebab kemiskinan
yang ada sekarang ini. Negara berada dalam baying-bayang kemakmuran, tapi
ternyata hutang tak terkontrol. Uang hasil utang dikorupsi oleh para pejabat.
Rakyat sedikit sekali menggunakannya.
Selama ini alasan pokok negara Dunia Ketiga sampai saat ini masi menerima
bntuan dari luar negeri, sekalipun mengikat tetapi tidak banyak diperhatikan.
Bantuan tersebut cenderung dianggap atau bahkan diyakini akan dapat melengkapi
kelangkaan sumber daya alam di negara berkembang. Konflik biasanya muncul
karena persyaratan yang diajukan. Celakanya, pihak pemberi seringkali tidak
bisa member arahan yang tepat. Adakalanya, bertolak dari motif pemberian
bantuan, uang itu akhirnya digunakan pemerintahan yang korup menggunakan
bantuan itu untuk aneka proyek yang tidak menguntungkan. (Michael P. Todaro,
1998: 174)
Di bidang pertanian, kebijakan pemerintah dalam untuk memutuskan impor
beras dengan alasan bencana, harga beras yang melonjak, maupun stok beras yang
ada di pemerintah adalah hal yang terlalu panik, mengada-ada, menghina petani,
dan melampaui batas kewajaran. Dalam situasi bencana, jumlah penduduk dan
konsumsi beras adalah TETAP secara nasional, hanya pada beberapa wilayah saja
seperti Jakarta yang terkesan menyerap banyak untuk stok di rumah tangga
ataupun bantuan untuk bencana.
Globalisasi juga telah melahirkan kemiskinan dan ketimpangan global. Dalam
kaitannya dengan pangan, ketahanan pangan tidak hanya mengandung aspek
ketersediaan pangan. Karena saat persediaan pangan negara banyak sekalipun,
hanya kelompok tertentu yang dapat memperolehnya. Dan tentunya, kelompok
masyarakat miskin bukan termasuk dalam kelompok yang dapat dengan mudah
memperoleh pangan.
Orang miskin tidak memiliki akses terhadap sumber daya yang cukup, baik
untuk memproduksi ataupun membeli makanan yang layak. Petani miskin juga hanya
memiliki lahan yang terbatas atau bahkan tidak memiliki lahan. Mereka yang
memiliki lahan hanya menggunakan teknik-teknik pertanian yang mungkin kurang
efisien, yang akhirnya membatasi produksi pangan. Kadang apa yang mereka tanam
pun tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka, apalagi untuk dijual guna
mendatangkan penghasilan. Karena miskin, mereka pun tidak memiliki suara secara
politis. Kebijakan-kebijakan negara sangat bias kelas, bahkan saat orang miskin
menuntut apa yang menjadi haknya sekalipun.
Akhirnya karena kebutuhan hidup, para petani menjual gabah ke tengkulak
yang tentu membeli dengan harga rendah. Dalam kondisi semacam ini, para
tengkulak semakin berkuasa menentukan harga gabah. Mereka memanfaatkan
kelambanan Bulog dalam membeli gabah petani. Lagi-lagi petani yang miskin pun
semakin dirugikan. Mereka tahu harga pasaran, namun tidak dapat melakukan
apa-apa karena terdesak kebutuhan.
Lebih lanjut, kemiskinan, menurut Imam Cahyono, memiliki wajah perempuan.
Imam memaksudkannya bahwa sebagian besar penduduk miskin di negara berkembang
adalah perempuan. Hal ini dikarenakan adanya feminisasi kemiskinan, berupa upah
perempuan yang lebih rendah, feminisasi pekerjaan, akses perempuan yang
dibatasi hukum, dan sebagainya. Menurut Imam, kemiskinan memiliki dimensi yang
sangat bias gender karena adanya ketimpangan gender dan aspek kekuasaan.
Dari kalimat Imam di atas bahwa kemiskinan memiliki wajah perempuan,
terdapat makna lain, yakni bahwa dalam kondisi sama-sama miskin, maka kelompok
perempuan akan menjadi yang paling menderita. Dalam kondisi miskin, perempuan
akan lebih sulit terpenuhi hak-haknya atas pangan yang layak. Meskipun telah
ada pengakuan formal terhadap kesetaraan gender dalam hukum internasional dan
nasional, perempuan miskin tetap akan lebih terhambat dibandingkan laki-laki
untuk mendapatkan makanan yang layak. Hal ini dikarenakan struktur patriarki
dalam budaya kita yang harus diterima perempuan, baik dalam negaranya bahkan
dalam keluarganya sendiri.
Meskipun mereka adalah pemegang peran utama dalam emproduksi dan mengolah
makanan, mereka tidak diakui sebagai produsen secara hukum. Mereka malah
dinyatakan sebagai populasi yang paling tidak beruntung. Mereka selalu menjadi
yang terakhir dalam menikmati hasil pertumbuhan ekonomi, bahkan yang selalu
memperoleh dampak negatif dari proses pertumbuhan ekonomi tersebut.
Faktor lainnya penyebab kemiskinan di negara ini adalah swastanisasi
perusahaan-perusahaan yang mengasilkan produk yang menuasai hajat orang banyak.
Di kalangan negara berkembang yang termiskin, swastanisasi ternyata menimbulkan
dampak negatif dalam distribusi pendapatan, yakni memperlebar kesenjangan
kesejahteraan antara si miskin dan si kaya.
Dalam buku Pembangunan
Ekonomi di Dunia Ketiga. Proses swantanisasi memunculkan berbagai
masalah yang kompleks. Aspek-aspek kelayakan, pendanaan, struktur hak milik dan
landasan hukumnya, serta adanya kemungkinan akan semakin dominannya kalangan
elit domestik dan berbagai macam kelompok kepentingan. Selain itu, apakah
swastanisasi bisa mengatasi, atau malah memperparah struktur-struktur politik,
sosial, dan ekonomi. Sebenarnya belum ada bukti yang mengatakan swastanisasi
akan menciptakan profitabilitas, efisiensi, serta tingkat output yang lebih
tinggi. (Michael P. Todaro, 1998: 271)
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kebudayaan “cultuur” (bahasa belanda),
“culture” (bahasa inggis), “tsaqafah” “bahasa arab),berasal dari perkataan
latin “colere” yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan
mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini
berkembanglah arti Culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk
mengolah dan mengubah alam”.
Budaya kemiskinan adalah satu sosok budaya kolektif, satu pola gaya hidup
yang dikonstruksi secara induktif melalui kumulasi perilaku, pola sikap,
orientasi nilai dan makin abstrak ke pola kognitif, pikiran, pilihan hidup dan
menajdi satu pola gaya hidup.
Saran
Apabila dalam pembuatan makalah ini
kelompok kami masih banyak kekurangan, kelompok kami minta maaf. Dan untuk
introsfeksi kami, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun, agar
kedepannya dapat lebih baik lagi.